Brilio.net - Apa tindakan kamu saat mengetahui bahwa siswa-siswi di wilayah perbatasan RI-Malaysia, tepatnya di Sebatik lebih mengenal mata uang ringgit daripada rupiah? Merasa sedih dan kecewa? Mengelus dada?.

Itulah mungkin yang pertama kali dirasakan Asis Wahyudi. Asis saat itu merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Malang (UM) yang merasa tergerak hatinya saat mengetahui fakta tersebut.

Awalnya saya melihat salah satu tayangan di televisi nasional yang memperlihatkan seorang reporter menanyakan seorang siswa mengenai nilai mata uang Rp 1.000, namun siswa tersebut malah tidak paham. Tapi setelah ditunjukkan uang 1 ringgit dia tahu, cerita Asis pada brilio.net.

Miris, Warga perbatasan RI ini lebih kenal Ringgit ketimbang Rupiah
Dari situlah kemudian Asis memiliki gagasan untuk mengangkat isu tersebut dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Negeri (DIKTI) dan akhirnya lolos dan berhasil di danai.

Akhirnya bersama 1 orang temannya, Asis berangkat menuju Sebatik pada Maret 2012. Selama 9 hari untuk melakukan penelitian melihat langsung keadaan nasionalisme disana.

Pertama kali datang yang saya soroti adalah perihal mata uang. Waktu itu saya naik ojek, dan tukang ojeknya berhenti di kios dan transaksi mereka menggunakan ringgit. Kemudian saya tambahi dengan rupiah itu juga diterima karena kedua mata uang itu berlaku meskipun nggak bisa dipungkiri kalau mereka lebih suka ringgit karena nilai tukarnya berbeda.

Asis melakukan penelitian di seluruh sekolah dasar di Sebatik dengan cara menyebar angket karena memang dia berencana mengulik tentang pengetahuan, sikap, dan juga perbuatan siswa-siswi tersebut terkait dengan nasionalisme.

Hasil dari angket tersebut ternyata untuk pengetahuan, siswa-siswi di sana sudah lumayan bagus untuk mengenali mata uang, bendera, lagu, dan lainnya. Sementara untuk sikap, para siswa juga sudah paham terkait dengan segala hal mengenai upacara bendera.

Tapi dalam segi perbuatan mereka nggak bisa memungkiri. Mereka jajan di kantin ya dengan jajanan dari Malaysia dan uangnya pun ringgit karena ibu kantin sukanya ringgit. Termasuk kalau masyarakat ingin jual hasil panen perginya ke Malaysia karena cuma butuh waktu 30 menit, sementara butuh 3 jam ke Indonesia ke Tarakan, tukas Asis.

Asis juga menambahkan bahwa kalau di sana jangan tanyakan mereka seputar nasionalis. Karena jika ditanya perihal cinta Indonesia ya mereka cinta Indonesia tapi jika ditanya mereka harus belanja dimana ya terpaksa pilih Malaysia.

Dari situ tidak bisa dipungkiri memang bahwa Indonesia membutuhkan pembangunan di daerah perbatasan. Di sana saja masyarakat lebih memilih berbelanja di Malaysia karena akan lebih banyak uang yang akan mereka keluarkan jika harus berbelanja di Indonesia.

Kalau memang pengen kita bener-bener murni Indonesia, bangunlah daerah perbatasan lebih baik lagi, pesan Asis.