Brilio.net - Indonesia adalah satu dari lima negara penggagas Konfereni Asia Afrika (KAA) pada 1955. Front man dari Indonesia adalah Ali Sastroamidjojo yang pada masa itu menjabat sebagai perdana menteri, dan dalam KAA didaulat menjadi ketua.

Seperti apakah sosok Ali Sastroamidjojo? Berikut brilio.net rangkumkan dari berbagai sumber.

Pria kelahiran Magelang, 21 Mei 1903 ini adalah Perdana Menteri ke-8 Indonesia yang sempat dua kali menjabat, yaitu pada periode 1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I) dan 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II).

Anak ke-11 dari 12 bersaudara ini memiliki ayah bernama R Ng Sastroamidjojo sedang ibunya bernama Kustiah. Peraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927 (usia 24 tahun) ini merupakan penulis buku Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972), otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda (1975).

Semasa bersekolah, Ali aktif dalam Jong Java (1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia (1923-1928). Karena aktivitasnya ini, pada 23 Sepetember 1927 ia ditahan oleh Polisi Belanda bersama ketiga rekan sesama mahasiswa di Belanda yaitu Mohammad Hatta, Natzir Dt Pamuncak, dan Abdulmajid, tetapi kemudian dibebaskan pada tanggal 22 Maret 1928.

Sekembalinya ke Tanah Air pada 1928, ia sempat membuka kantor pengacara bersama Mr Soejoedi, juga menggarap majalah Djanget di Solo bersama dr Soekiman. Ia masuk Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Bung Karno lalu masuk Gerindo saat PNI dibubarkan oleh Mr Sartono. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, ia masuk kembali ke organisasi PNI.

Pasca Perang Dunia II usai, ia ditunjuk menjadi Menteri Pengajaran dalam Kabinet Amir Syarifuddin (Juli 1947) dan Kabinet Hatta (Januari 1948). Ia kemudian menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda (Februari 1948) dan menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar.

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, ia diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko (1950-1955). Selain itu, ia juga diangkat menjadi ketua umum Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1957-1960), dan menjadi ketua umum PNI (1960-1966). Ali meninggal di Jakarta pada 13 Maret 1976 di usianya 72 tahun.