Brilio.net - Berawal dari kisah perantauannya semasa remaja ke Pulau Dewata Bali, memberikan inspirasi bagi Marlean untuk mencoba peluang mengolah limbah batok (tempurung) kelapa dengan alat-alat yang dimodifikasi sendiri olehnya. Bahan yang mungkin bagi sebagian besar orang lain dinilai tidak berharga, namun di tangan Marlean bisa disulap menjadi pundi-pundi rupiah.

Kerajinan yang berbahan dasar tempurung kelapa ini sudah diproduksi sejak tahun 90-an di Dusun Seduri, Desa Wonodadi, Kecamatan Wonodadi, Blitar. Pada tahun 2002 keberadaannya mulai dilirik oleh pasar. "Dan setelah mendapatkan pembinaan secara intensif dari Dinas Perindustrian setempat pada tahun 2013, omzetnya per tahun bisa mencapai ratusan juta rupiah dengan kapasitas produksi hingga 25.000 unit kerajinan mulai dari tas, dompet, ikat pinggang, dan aksesoris," ujarnya saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu. Dengan mematok harga antara Rp 10.000-Rp 200.000 untuk produk-produk kerajinan tempurung kelapa miliknya, Marlean bisa meraup keuntungan hingga mencapai puluhan juta rupiah per bulannya.

Kini, seiring dengan kelesuan ekonomi dan makin banyaknya pesaing yang meniru produk miliknya akhirnya berimbas pada menurunnya omset yang didapat. "Sekarang ini yang menjadi kendala bisnis saya adalah menumpuknya stok barang di tempat para pengepul, baik yang ada di Jogja, Bali maupun daerah lainnya," tutur Marlean, pemilik sekaligus penggagas kerajinan tempurung kelapa di Dusun Seduri.

Kebanyakan para pengepul mematok harga yang berlipat ganda dari harga standar, sehingga barang menjadi semakin lama terjual. Contohnya saja salah satu pedagang di Pasar Beringharjo yang ditemui brilio.net mematok harga antara Rp 35.000Rp 150.000.

"Sebenarnya, saya juga mempunyai gagasan untuk menciptakan Kampung Wisata Batok dengan mengolah tempurung kelapa menjadi berbagai macam produk yang bisa digunakan sehari-hari. Supaya juga tidak kalah dengan wisata Kampung Coklat yang ada di Kademangan," ujarnya..

Laporan: Fima Herdwiyanti