Brilio.net - Siapa sangka, di bengkel kecil yang sederhana itulah uang puluhan juta rupiah dihasilkan setiap bulannya. Tempat kerja yang sempit dan berada di pinggir jalan tersebut bernama CV Glass Blower. Pemiliknya adalah Soenaryo Bernastowo.

Kehidupan manusia sering digambar seperti roda, kadang di bawah kadang di atas. Demikian pula kisah kehidupan Soenaryo. Sudah 54 tahun lamanya dia menjadi perajin alat laboratorium, lebih tepatnya tabung-tabung kaca yang biasanya digunakan di laboratorium. Glass blower, begitulah Naryo menyebut profesinya.

"Perajin alat laboratorium di luar negeri dikenal dengan glass blower atau peniup gelas, sebab untuk menghasilkan gelas-gelas serta tabung kimia yang bagus selain dibakar juga harus ditiup," jelasnya saat ditemui brilio.net di kediamaan yang juga tempat kerjanya di Jalan Nusa Indah, Condongcatur, Depok Sleman, Yogyakarta, Selasa (24/11).

Perkenalannya dengan glass blowing memang berasal dari cara yang pahit. Saat berusia 18 tahun, Naryo menjadi korban human trafficking atau perdagangan manusia. Dia bercerita karena tidak bisa melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 3 Yogyakarta, memaksanya untuk mencari pekerjaan. Seorang calo tenaga kerja menawarkan pekerjaan di Medan. Akan tetapi, bukan Sumatera yang disambanginya, melainkan sebuah negara yang terletak di pulau kecil utara Sumatera. Iya, Singapura.

"Di sana barulah saya sadar jika ternyata telah dijual dan dipaksa bekerja sebagai pesuruh di sebuah pabrik pembuatan glass blowing. Tidak betah dan berusaha untuk melarikan diri justru membuat saya tertangkap mandor pabrik dan dihajar habis-habisan," kenang kakek enam cucu tersebut.

Hingga suatu saat, dua tahun setelah dia bertahan di pabrik tersebut, para rekannya mendorong Naryo untuk melarikan diri. Maka, pergilah dia dalam pelariannya dan menyelundup ke kapal pengangkut gandum milik pelaut Madura. Beruntung dia bertemu dengan nakhoda yang baik dan mengantarnya sampai Surabaya, sehingga bisa kembali ke Jogja.

Kisah Soenaryo, korban human trafficking yang menjadi pengusaha
Karyawan Soenaryo yang tengah bekerja.

"Setelah di Jogja, saya coba melamar kerja di UGM sebagai tenaga honorer tapi waktu itu ijazah saya cuma SMP. Sehingga saya hanya dipekerjakan jadi tukang bersih-bersih. Di situlah saya bertemu teman lama, dia mendorong saya untuk melanjutkan sekolah. STM Jetis pun menjadi pilihan saya. Selepas lulus STM mendapat kenaikan pangkat dan ditempatkan di laboratorium kimia," terang Naryo, walaupun sudah lanjut usia namun masih terlihat sangat cerdas.

Melihat tabung reaksi yag mudah pecah menggugah keinginannya untuk dapat memperbaiki alat-alat yang rentan retak tersebut. Berbekal buku-buku kimia pinjaman mahasiswa dia pun mempelajari seluk beluk alat-alat laboratorium dan sesekali membantu mahasiswa memperbaiki alat yang rusak. Apalagi dulu dirinya pernah bekerja di bidang yang sama saat di Singapura.

Dari memperbaiki satu alat ke alat lainnya, semakin banyaklah mahasiswa yang meminta bantuannya. Saat itu dirinya juga membantu Ir. Sugihardi, dosen di Fakultas Teknik yang sedang merancang laboratorium teknologi minyak bumi dan operasi teknik kimia. Kebetulan, dirinya bertugas mengetik pesanan daftar peralatan laboratorium yang akan didatangkan dari AS, Inggris dan Belanda.

Kisah Soenaryo, korban human trafficking yang menjadi pengusaha
Dengan teliti menyelesaikan pesanan.

"Melihat daftar pesanan itu, saya katakan kepada Ir Sugihardi, jika saya dapat membuat peralatan itu sendiri," ujarnya. Dari mulut ke mulut menjadi media promosi yang ampuh kala itu hingga membuatnya berpikir mengapa tidak menjadikan glass blowing sebagai pekerjaan yang pada akhirnya ditekuni hingga sekarang.

Dari usaha tersebutlah Soenaryo berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga Perguruan Tinggi, berhasil membelikan rumah dan mobil untuk mereka. Walaupun begitu dia beserta istri dan beberapa karyawannya tetap memilih untuk tinggal di rumah sederhana tersebut.

Kisah Soenaryo, korban human trafficking yang menjadi pengusaha Hasil produksi.

"Saya sudah tua, anak bungsu saya juga sudah mewarisi bakat saya. Tapi sebelum saya meninggal, selama saya masih kuat, saya akan terus melanjutkan pekerjaan ini," pungkas kakek 77 tahun tersebut.