Brilio.net - Sesuai dengan catatan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) tahun 2012, kematian karena diare di Papua mengalami peningkatan. Kurang lebih 31.200 anak balita di Indonesia meninggal karena infeksi diare. Salah satu daerah dengan tingkat kematian karena diare adalah Papua. Banyak keluarga yang harus kehilangan sanak saudara karena penyakit yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang kurang sehat.

Hal ini membuat Yali Inggibal, tokoh masyarakat dari Desa Air Garam, Wamena, Papua, merasa prihatin. Hatinya tergerak untuk melakukan perubahan.

Yali yang kesehariannya mengurusi gereja di desanya, bertekad mengabdikan hidupnya untuk membuat lingkungan di Papua menjadi lebih baik melalui pembuatan toilet untuk desa-desa. "Penyebab utama diare di Papua adalah sanitasi, seluruh desa waktu itu belum punya toliet sehingga masyarakat membuang hajat di sembarang tempat dan saya tidak ingin anak-anak meninggal karena diare lagi," ujar Yali kepada brilio.net di Yogyakarta, Selasa (12/5).

Meski Yali merupakan warga asli Papua, namun tetap saja tidak mudah bagi dia untuk menyakinkan masyarakat untuk hidup bersih. Awal mulanya dia mengumpulkan masyakarakat untuk diberi pemahaman perihal pentingnya sanitasi bagi kesehatan. Sosialisasi ini dilakukan bersama dr Candra, Health Coordinator Wahana Visi Indonesia. Masyarakat yang awalnya tidak begitu terbuka untuk menerima, akhirnya secara berlahan mulai mendengarkan pemahaman tentang pentingnya sanitasi.

Persoalan tidak lantas selesai. Meskipun masyarakat sudah memahami bagaimana peran sanitasi untuk kesehatan, namun masyarakat tetap menolak untuk membuat toilet tertutup. Alasan utamanya adalah perihal keterbatasan biaya. Ya, harga semen mencapai Rp 700.000 per sak, sehingga biaya pembuatan toilet terlalu mahal. Warga memilih menggunakan uang tersebut untuk makan saja.

Meski tantangan tiada hentinya, Yali tidak menyerah. Dia berpikir keras bagaimana mengatasi harga semen yang cukup tinggi di Papua. Sembari memikirkan solusi untuk harga semen yang mahal, Yali pun aktif melakukan pendekatan dengan masyarakat, mulai dari ngopi atau ngeteh bersama sampai pada berdiskusi perihal solusi untuk pengadaan toilet.

Bak gayung bersambut, di tengah kebingungannya memikirkan harga semen, Yali menemukan abu bekas pembakaran di dapur kemudian dia siram dengan air mendidih dan ternyata itu dapat dimanfaatkan sebagai pelekat dan pengganti semen. Akhirnya cita-cita untuk membangun toilet itu mulai terealisasi. (Baca: Menyiasati ketidakmampuan beli semen Yali pakai abu untuk membangun)

Dengan segenap tenaga Yali mengumpulkan warga desa untuk bersama-sama membangun toliet tertutup. Jangan bayangkan pembuatan toilet yang serba mewah seperti di kota besar, mereka membangun toilet dengan bahan sederhana, mulai dari mengukur kedalaman septic tank dengan meteran, menabur batu di lantai toilet yang kemudian dilekatkan dengan abu tadi, kemudian dindingnya terbuat dari kayu. Dan akhirnya toilet dapat dibangun.

Yali pun bertekad untuk membangun 63 toilet yang tersebar di beberapa desa di Papua. Ide Yali pun tidak selesai hanya dengan membangun toilet saja, baginya mengajak warga Papua untuk hidup bersih harus berlanjut. "Harapan saya masyarakat Papua bisa lebih baik lagi, kita tidak bisa menunggu terus bantuan, kita harus bertindak bersama, anak tidak boleh mati lagi hanya karena kita tidak punya sanitasi," harap Yali.