Brilio.net - Kata minder tidak ada dalam kamus anggota Deaf Art Community (DAC) Jogja. Sebuah komunitas penyandang tunarungu yang dibentuk sejak 28 Desember 2004. Kekurangan mereka tersebut justru menjadi pemicu untuk lebih berguna bagi hidupnya dan bahkan bagi orang lain.

DAC merupakan wadah bagi penyandang tunarungu dan orang mendengar untuk berkumpul dan berinteraksi. Tentu saja dalam berinteraksi mereka menggunakan bahasa isyarat. Mereka punya tujuan yang sama yaitu menghilangkan batas- batas komunikasi.

Uniknya, anggota DAC tidak hanya penyandang tunarungu saja namun mereka yang bukan penyandang bisa tergabung dalam Sekolah Semangat Tuli, yang diprakarsai oleh para aktivis DAC.

Sekolah ini didirikan sebagai wadah bagi penyandang tuna rungu dan orang mendengar mengasah kemampuan bahasa isyarat, berinteraksi, dan saling belajar. Selain ilmu yang didapat akan lebih beragam, mereka mencoba menghapus jurang pemisah antara tuna rungu dan orang mendengar.

Mereka beranggapan diskriminasi terjadi ketika mereka bersikap tertutup, oleh karenanya mereka mencoba terbuka terhadap masyarakat umum.

Jika kamu tertarik untuk belajar bahasa isyarat, kamu bisa datang ke sekolah tuli yang berlokasi di Langenarjan Lor, Panembahan Yogyakarta Setiap hari Senin dan Kamis mulai pukul 16.00 - 18.00 WIB. Tak perlu khawatir soal biaya, di sekolah ini kamu bisa belajar bahasa isyarat dengan cuma-cuma.

Pengajar kelas ini sudah mendapatkan pelatihan dari Laboratorium Riset Bahasa Isyarat di Universitas Indonesia. Mereka adalah Stephanie Kusuma Rahardja, Arief Wicaksono, Alim Hizbullah, dan Riski Purna Adi.

"Pada setiap sesi juga terdapat dua asisten pengajar yang membantu mengoreksi kata isyarat yang dipelajari oleh murid kelas bahasa isyarat. Nah untuk asistennya ini baru kami ambil dari kawan tunarungu," ujar Arief Wicaksono, salah satu pengajar kepada brilio.net Jumat (28/8)

Dalam komunitas ini, seluruh anggotanya menggunakan Bahasa Isyarat untuk saling berinteraksi. Termasuk juga hearing people yang ikut berkecimpung di dalam komunitas ini. Selain bertujuan untuk memperkenalkan budaya tuli, komunitas ini juga ingin mendukung BISINDO atau Bahasa Isyarat Indonesia untuk diakui oleh pemerintah Indonesia karena BISINDO merupakan bahasa asli yang dibuat oleh, dari, dan untuk mereka yang tunarungu.

"Kami ingin mengajak hearing people juga belajar bahasa ini, tujuannya agar semakin banyak orang yang bisa diajak berkomunikasi oleh para tunarungu," kata Arief.

Arief bilang, sasarannya bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak mulai dari SD hingga SMA. Tujuannya agar sejak kecil mereka tidak asing dengan penyandang tuna rungu, sehingga tidak memperlakukan mereka dengan berbeda.

Komunitas ini sudah melanglangbuana ke penjuru nusantara. Mulai dari Yogyakarta sampai Makassar. Bahkan dua anggota DAC pun pernah mendapat undangan dari Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menjadi pembicara di Swiss dan New York pada tahun 2013, luar biasa!