Penggunaan media sosial (medsos) memungkinkan kamu untuk berbagi apa pun, mulai dari foto, video, posisi keberadaanmu, makanan yang tengah kamu makan, hingga perasaanmu atau pendapatmu akan sesuatu. Alih-alih berbagi tentang sesuatu yang bermanfaat, banyak pengguna medsos justru sering berbagi tentang hal-hal yang tidak sopan, berita hoax, hingga yang berbau kekerasan.

Adanya media sosial, di samping sisi positifnya juga memberikan dampak negatif. Di medsos-lah kamu bisa melihat korban kecelakaan menjadi bahan tertawaan, foto jenazah menjadi biasa untuk diedarkan, sampai prostitusi yang beredar dengan begitu terbukanya tanpa tedeng aling-aling.

Selain itu, banyak juga pengguna media sosial yang berbagi status tentang hal-hal yang harusnya menjadi konsumsi pribadi. Misalnya tentang aktivitas seksual dan kemarahan dengan kata-kata kasar. Hal semacam itu harusnya dipertimbangkan untuk dibagikan di medsos.

Hati-hati, upload foto & nyetatus di medsos ada peraturan hukumnya lho

"Di internet, jika produknya gratis, kitalah produk itu sendiri," terang Gatot Priambodo, founder sekaligus editor laman ngomonghukum.com.

Jika kita produknya, siapa konsumen kita di media sosial? Berikut penjelasan Gatot.

"Siapa konsumennya? Nggak lain adalah orang lain teman-­teman kita di media sosial, juga mereka para pengiklan yang memasang iklan di media sosial untuk merauk perhatian kita untuk membeli produknya. Singkat kalimat, konsumennya adalah khalayak ramai. Untuk apa kita upload foto-­foto selfie kalau tidak untuk dipamerkan, dilihat oleh banyak orang, menjadi konsumsi publik. Bahkan, tak jarang foto­-foto itu kemudian disimpan oleh orang lain untuk koleksi pribadinya. Masih mending kalau cuma dikoleksi sendiri. Ngeri kalau besok tiba­-tiba ada foto telanjang yang kepalanya kamu dengan tubuh Miyabi?," lanjut pria dua anak ini.

"Melakukan pembaruan status media sosial yang bermuatan perjudian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia, judi berarti permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan. Seperti bertaruh dalam satu pertandingan sepakbola yang dipublikasikan dalam media sosial itu melanggar aturan hukum," tambahnya.

Artinya, tentang segala sesuatu yang kamu bagikan di media sosial, memungkinkan juga untuk merugikan diri sendiri. Tidak sepenuhnya kamu mengenal konsumenmu yakni teman-teman di media sosial. Bisa saja kan, foto dan video yang kamu unggah disalahgunakan. Itulah pentingnya untuk tidak sembarangan berbagi tanpa memperhatikan aspek-aspek yang mungkin terjadi.

Bicara soal hukum sendiri, ternyata ada hukumnya lho tentang apa yang boleh dan tidak boleh kamu bagi di media sosial.

"Ada di Bab VII tentang perbuatan yang dilarang. Misalnya, mengunggah foto atau status di media sosial yang nggak sejalan dengan kesusilaan. Nah, kesusilaan di sini cukup luas cakupannya. Misalnya mengunggah foto orang yang minim busana atau auratnya mbleber di mana-­mana. Sering kan kita melihat gambar-gambar nggak senonoh berseliweran di lini masa media sosial kita? Sejatinya itu melanggar aturan hukum," terang Gatot.

Selain itu, mengunggah foto dan status yang mencemarkan nama baik juga bisa melanggar hukum. Ingat kasus Koin Untuk Prita? Itu salah satu kasus tentang pencemaran nama baik yang sangat terkenal.

"Dengan sengaja melakukan pembaruan status atau unggah foto atau gambar yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Hal ini termaktub dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal ini adalah salah satu yang orang lazim menyebutnya pasal karet. Mengapa mendapat predikat demikian? Karena doi ini lentur; pasal ini boleh jepret sana-sini. Aturan mengenai pasal ini terkesan kurang pasti, sangat bertolak belakang dengan asas kepastian hukum (legal certainty) yang seharusnya menjauhkan kita dari keambiguan. Hal­-hal remeh yang orang awam menganggapnya biasa-­biasa saja bisa digiring paksa ke meja hijau," jelas Gatot.

Pasal ini memang masih banyak menuai kontroversi. Selain itu, kekuatan hukumnya juga masih diragukan.

Pengunggahan foto, video, dan status tentang orang kecelakaan, jenazah, korban perang, dan lainnya juga banyak kamu temukan di media sosial. Tentang hal ini, memang belum ada hukum yang mengatur. Tapi, alangkah bijaksananya jika hal-hal yang demikian lebih dipertimbangkan untuk disebarluaskan. Apakah ada manfaatnya jika kamu membagi foto tentang korban kecelakaan yang sedang sekarat? Bukankah itu justru menyinggung naluri kemanusiaan?

"Saya pikir hal-­hal itu masuk ranah etika. Karena sejauh yang saya tahu (tolong koreksi saya jika salah), belum ada aturan hukum yang jelas mengaturnya. Seperti yang ada dalam penjabaran sebelumnya, kita mesti memperhatikan fungsi manfaat dari apa yang kita lakukan dalam media sosial. Apa manfaatnya? Mungkin mengunggah foto orang meninggal akibat kecelakaan berniat agar keluarga korban segera mengetahui karena informasi semacam ini akan menyebar secara viral," terang dia.

"Apa yang mesti diperhatikan adalah dampak setelahnya, bagaimana perasaan keluarga korban setelah melihat foto keluarga terkasihnya meninggal dengan cara yang tragis, misalnya. Kembali lagi pada empati, menempatkan diri kita sebagai keluarga korban tersebut. Karena nggak menutup kemungkinan foto tersebut akan kekal di jagad internet dan bisa sewaktu­-waktu tanpa sengaja terlintas lagi di mata keluarga korban," pungkas Gatot.