Brilio.net - Ribuan orang memadati Keraton Yogyakarta pada Rabu malam (14/10) untuk persiapan mengikuti ritual Tapa Bisu Mubeng Beteng. Acara tersebut rutin dilaksanakan di Keraton Yogyakarta pada malam 1 Sura tiap tahunnya. Acara dimulai pukul 21.30 WIB dengan menyanyikan tembang Macapatan untuk menunggu pukul 00.00 WIB tiba.

Ritual Tapa Bisu Mubeng Beteng merupakan acara rutin yang dilaksanakan pada malam 1 Sura untuk menyambut tahun baru penanggalan Jawa. Karena tahun baru Hijriyah dan Penanggalan Jawa berselisih satu hari, maka pelaksanaannya pun berselisih satu hari dengan tahun baru Hijriyah yang jatuh pada hari Rabu 14 Oktober 2015.

Peserta ritual Tapa Bisu Mubeng Benteng berjalan dengan rute mengelilingi empat penjuru beteng. Beteng atau benteng dalam bahasa Indonesia adalah batas yang menutupi kawasan Keraton Yogyakarta dengan wilayah di luarnya. Keheningan mulai terjadi saat awal pemberangkatan hingga akhir acara karena mereka yang mengikuti ritual ini harus berdiam diri selama perjalanan. Hanya hentakan sandal yang muncul mengiringi perjalanan sampai selesai.

Begini filosofi Tapa Bisu Mubeng Beteng tiap 1 Sura di Keraton Jogja

KRT Gondohadiningrat (67), Sekretaris Kawedanan Ageng Panitera Pura Keraton Yogyakarta mengungkapkan, pada dasarnya bukan keraton yang mengadakan acara ini karena sejatinya acara ritual Tapa Bisu Mubeng Beteng merupakan acara rakyat. "Ini bukti kebersamaan rakyat dan pimpinannya yang terjalin di Yogyakarta. Jadi ini gawe rakyat yang difasilitasi oleh keraton," terangnya kepada brilio.net, Kamis (15/10) setelah selesai acara Tapa Bisu Mubeng Beteng.

KRT Gondohadiningrat bercerita, zaman dulu Mubeng Beteng itu adalah aktivitas ronda. Kegiatan itu dimulai pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, belum ada beteng yang mengelilingi wilayah Keraton Yogyakarta.

Begini filosofi Tapa Bisu Mubeng Beteng tiap 1 Sura di Keraton Jogja

Lalu kenapa terjadi ritual Mubeng Beteng setiap 1 Sura?

Sudah menjadi hal wajar jika sebuah aktivitas yang sudah sejak lama dilakukan akan menjadi sebuah tradisi. Dalam budaya Jawa, hajat atau kegiatan yang baik mesti dicarikan momen yang baik pula. Maka dipilihlah 1 Sura sebagai gelaran Mubeng Beteng sebagai cara untuk melakukan perenungan dan evaluasi diri. "Justru ini tidak sekadar renungan, tapi sudah langsung meminta kepada Tuhan. Sebagai manusia itu kan jarang melakukan perenungan apa yang telah dilakukan satu tahun yang lalu. Nah lewat Mubeng Beteng ini diharapkan manusia bisa melakukan perenungan terhadap apa yang dilakukannya," kata pria yang telah menjadi Abdi Dalem sejak 1986 ini.

Diam dalam ritual Mubeng Beteng dimaksudkan agar mereka yang melakukan perenungan bisa fokus untuk berdoa kepada Tuhan. Berbeda halnya jika Mubeng Beteng dilakukan dengan bercakap-cakap, maka fokus perenungan tidak akan tercapai.

Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam 30 menit untuk mengelilingi empat penjuru beteng Keraton Yogyakarta yang berjarak empat kilometer. Tak heran jika ada beberapa peserta yang gagal karena kelelahan dan harus diangkut ambulans.