Lima orang mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya (UB) Malang menciptakan kondom sapi yang diberi nama "Hi-Mic" dengan fungsi mencegah penyakit mastitis atau radang kelenjar ambing bagian dalam pada sapi perah.

Salah seorang mahasiswa pencipta kondom sapi Hi-Mic, Lovy Cendya Luckyta di Malang, Sabtu, mengatakan Hi-Mic dapat digunakan sebagai penanganan kasus mastitis karena tidak menimbulkan efek samping.

"Selain itu juga tidak menimbulkan iritasi," kata Lovy menambahkan.

Ia mengemukakan pemakaian kondom tersebut setelah dilakukan pemerahan susu pada puting sapi. Cara ini dapat mencegah masuknya bakteri, sehingga bisa meminimalisasi dan mencegah adanya penyakit mastitis.

Selain Lovy, mahasiswa lainnya yang turut menciptakan kondom Hi-Mic untuk sapi perah itu adalah Zuhronu Feradatu Khusna, Rizka Suryaning Dewi, Ema Eka Safitri, dan Dicky Yoga Prasetia.

Hasil temuan mereka itu akan dipresentasikan di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-28 di Kendari pada 5-9 Oktober 2015. Proposal penelitian tersebut lolos seleksi Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) bersama 34 proposal lainnya yang juga bakal dipresentasikan di ajang yang sama.

Sementara itu, dosen pembimbing penciptaan kondom bagi sapi perah tersebut, drh Dahliatul Qosimah mengatakan ide pembuatan kondom tersebut berawal dari turunnya produksi susu di Indonesia akibat beberapa faktor seperti penyakit mastitis.

Hi-Mic merupakan modifikasi penggunaan kondom untuk manusia yang disesuaikan dengan anatomi puting sapi perah.

Menurut dia, tujuan penciptaan kondom sapi tersebut untuk mengetahui potensi tingkat keberhasilan dari kondom modifikasi sebagai alternatif penanganan mastitis. Kondom sapi ini terbuat dari latex dicampur ekstrak lidah buaya yang dikolaborasikan dengan metode maserasi menggunakan etanol 70 persen. Desainnya, disesuaikan dengan ukuran puting sapi.

Ia mengatakan karya ini sudah diuji coba beberapa kali pada sapi laktasi yang diduga menderita mastitis subklinis. Hasilnya menunjukkan sapi merasa nyaman dan tidak menimbulkan iritasi pada puting.

"Uji CMT (California Mastitis Test) memberikan hasil positif satu lebih rendah dibanding dengan yang menggunakan antiseptik atau kondom saja. Ini artinya jumlah sel somatik bakteri lebih sedikit dan pada uji mikrobiologi menggunakan metode Total Plate Count menunjukkan adanya penurunan jumlah sel mikroba," ujarnya dikutip antara, Sabtu (3/10).

Sebelumnya lima mahasiswa dari berbagai program studi juga telah menciptakan alat terapi mastitis bagi sapi perah yang diberi nama "Mastitis Electrical Biomedis" atau "Mastimedis".

Ide untuk menciptakan Mastimedis melalui sejumlah penelitian ini berawal dari keresahan peternak terhadap tingginya prevalensi mastitis pada sapi perah yang disebabkan oleh bakteri "patogen staphylococsus aureus" dan "streptococcus agalactiae".

Sapi yang terjangkit mastitis akan merugikan peternak dalam jumlah cukup besar, seperti penurunan produksi susu, kualitas susu, peyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan cukup tinggi, serta pengafkiran ternak lebih awal. Jika penyakit mastitis ini dibiarkan pada kelenjar susu sapi, susu yang diproduksi akan ikut tercemar oleh bakteri.

Pengobatan yang selama ini dilakukan peternak adalah dengan menggunakan pengobatan antibiotik, seperti antibiotik dan antiinflam (mastitis klinis). Namun demikian, kedua bakteri penyebab mastitis tersebut mudah sekali resisten terhadap beberapa pengobatan antibiotik.

Dengan menggunakan Mastimedis, bakteri patogen penyebab mastitis dengan prinsip elekroporasi, yaitu bakteri akan mati pada frekuensi dan tegangan tertentu. Mastimedis telah dilakukan pengujian secara elektronika, uji invitro dan uji invivo.

Alat ini akan terus diteliti dan dikembangkan untuk benar-benar dapat digunakan di seluruh peternakan sapi perah di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan produksi susu dalam negeri.